14 Tahun
Aku ingin bercerita tentang dia.
Dia yang aku sayangi...
Semua bermula dari sebuah kota. Aku ingat satu hari ketika dia mengajakku berjalan kaki menusuri gang kecil. Hari itu langit cerah. Biasanya dia menggandeng tanganku, sambil berjalan dia selalu bercerita. Dahulu begini... dahulu begitu.
Dia akan melakukan apapun untukku. Dia bilang aku harus rajin belajar. Dia selalu menasihatiku. Tidak seperti dia yang tidak peduli padaku, bahkan menasihatiku pun baru beberapa hari kemarin. Katanya, aku harus menjadi orang yang sukses dan berhasil. Waktu itu aku terlalu kecil untuk mencerna kata-katanya. Aku baru sadar bahwa dia orang yang sangat realistis.
Kami berjalan cukup jauh, sekitar beberapa kilometer. Dari menusuri gang kecil, lalu sampai di pinggir jalan besar. Di jalan besar kulihat rumah, kendaraan, pohon-pohon dan penjual ikan hias. Setiap aku melewatinya, aku selalu banyak bertanya. Setelah itu kami sampai di pasar. Disana ada toko yang menjual makanan ringan. Dia membeli sebuah kue brownies, bolu dan sebuah eskrim untukku. Kemudian kami kembali pulang, sesederhana itu. Aku bahagia.
Aku tidak pernah lupa bagaimana dia selalu mengajakku pergi ke kota itu setiap liburan sekolah. Kota yang selalu menjadi tempat yang ingin aku kunjungi. Setiap mengajakku, rasanya seperti dia tahu bahwa sekolah adalah sebuah neraka bagiku. Aku yang dikenalnya dulu adalah aku yang banyak bicara, senang bercerita, ceria dan sangat ekspresif. Setelah masuk sekolah aku berubah menjadi pribadi yang diam, secara mental itu sangat merusak bahkan sampai hari ini. Dia selalu bertanya
"Mengapa kamu diam?". Aku bahkan tidak ingat bagaimana aku menjawabnya. Dia sepertinya tahu bahwa aku tertekan. Dia tahu anaknya tidak cukup untuk bisa membawaku pergi jalan-jalan saat itu. Aku sendiri, memang butuh tempat untuk pergi. Untuk itulah aku selalu ikut dengannya, ke sebuah kota dimana aku dilahirkan.
Kami berdua selalu pergi naik bus. Dahulu belum ada jalan tol. Aku bahkan masih ingat kami berangkat jam 8 pagi. Sepanjang jalan aku memperhatikan pemandangan. Aku suka pergi kesana karena bus melewati jalur Puncak, Bogor. Sepanjang jalan itu banyak kebun teh dan pohon-pohon hijau. Lalu setelah beberapa jam perjalanan bus akan berhenti di sebuah rumah makan. Tempat itu memang sebuah tempat peristirahatan karena banyak bus lain yang berhenti disana. Aku masih ingat kami makan nasi dengan ayam goreng. Saat kami makan, biasanya aku ingin minuman bersoda. Dia pasti memarahi dan melarangku, padahal aku tidak pernah mabuk darat. Setelah makan dan kembali ke bus selalu ada penjual donat. Aku adalah anak yang banyak meminta, aku ingin donat. Dia menurutiku dan membeli satu kotak donat besar, isinya ada 12 buah. Nantinya donat itu akan kami makan jika sudah sampai di rumah.
Jika liburan sudah selesai dia akan mengantarku pulang. Sebelum akhirnya dia kembali ke rumahnya dan setelah itu kami hanya akan berkomunikasi lewat telepon. Biasanya jika aku sakit atau aku sendirian di rumah, aku selalu menelponnya. Aku kesepian karena orangtua kami bekerja. Akupun tidak pernah menuntut kehadiran mereka karena aku cukup tahu alasan mereka pergi dan meninggalkan aku dan adikku di rumah. Aku ingin bilang padanya bahwa anaknya sangat hebat, dia adalah malaikatku. Aku tidak heran mengapa dia bisa mendidiknya seperti itu. Terima kasih banyak.
Setelah masa - masa sekolah dasar yang mengerikan itu berakhir aku memutuskan untuk tinggal bersamanya. Kupikir aku akan dapat banyak hal jika aku selalu bersamanya. Itu benar. Dia mengajarkan aku banyak hal, banyak sekali. Sehingga dalam keadaan paling sulitpun, hari ini, aku tidak menyerah. Pada masa itu aku mungkin menyebalkan. Dia selalu marah jika aku bandel. Tapi kalau aku menjadi anak yang baik, dia akan membelikanku makanan yang enak.
Masa - masa tinggal bersamanya adalah pelajaran berharga bagiku. Kami tidak selalu hidup senang, makan juga seadanya, bahkan jika lauknya dipanaskan selama 4 hari berturut-turut. Setiap hari dia duduk di ruang tamu sambil meminum kopi dan merokok. Lalu jika aku pulang sekolah dia akan berkata "Ada kopi di dapur, coba seduh". Kemudian kami meminumnya bersama. Di usianya pada saat itu tidak banyak teman yang bisa diajak mengobrol. Aku tahu, semakin tua temanmu-pun akan pergi meninggalkanmu. Saat itu mungkin aku adalah temannya. Aku, kopi dan dia.
Kami membicarakan banyak hal. Aku ingat bagaimana dia menceritakan perjuangannya hidup dari nol sampai bisa hidup damai di hari tua. Dia bercerita bagaimana kerasnya berjualan di Stasiun waktu itu. Dia bercerita tentang hari-harinya yang sulit. Dia juga bilang bahwa pendidikan adalah sesuatu yang penting, untuk itulah dia tetap menempuh pendidikan walau tidak dengan usia yang muda lagi. Dia mementingkan pendidikan diatas segalanya, itulah yang dilakukannya pada anak-anaknya.
Dia berbicara padaku dengan bahasa seperti layaknya aku adalah temannya. Dia menceritakan masa lalunya, teman-temannya, pengalamannya pergi keluar kota, anak-anaknya atau betapa cerianya aku dulu. Ketika dia bercerita, kami tidak sadar waktu telah sore. Aku memang senang mendengarkan orang bercerita, rasanya seperti aku masuk kedalamnya. Aku bahkan masih ingat dia bercerita tentang pengalaman hidupnya saat dia hanya makan kue marie setiap hari karena tidak punya uang.
Jika dia bosan, dia akan pergi keluar bersama mobil tuanya. Sebuah mobil sedan mitsubishi keluaran tahun 1996 berwarna biru. Sepulangnya dia kembali membawa 5 potong rendang dan 1 kg bolu kering. Dia bilang bolu kering sangat enak jika dimakan bersama dengan teh dan kopi. Saat itu pula obrolan kita akan kembali terulang.
Dia senang berkebun. Banyak pohon yang sudah ditanam dan berhasil tumbuh dengan baik selama berpuluh-puluh tahun. Sayang aku tidak bisa menikmati hasilnya, karena sebagian besar adalah buah-buahan. Aku heran bagaimana dia bisa menanam dan merawat pohon dengan baik. Dia selalu mengajakku berkebun. Terkadang aku malas karena disana banyak nyamuk. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan dia pergi sendirian. Dia bilang ingin menanam banyak pohon, nantinya pohon itu akan tumbuh besar dalam waktu 10 tahun. Lalu jika hasilnya sudah ada itu akan menjadi investasinya untuk masa mendatang. Pada hari itu aku terharu, tapi kusembunyikan wajahku. Aku hanya diam, lalu lanjut memberikan pupuk untuk bibit pohon.
Hari- hari di kebun kulakukan dengan menyiram bibit, memberi pupuk, membersihkan rumput, menyapu daun kering lalu membakar semua sampah daunnya. Setelah itu kami kembali ke rumah, begitu setiap hari. Jika musim panen tiba biasanya aku membantu memetik hasilnya. Seperti saat panen cengkeh, aku memungut beberapa cengkeh yang jatuh ke tanah. Nantinya cengkeh bisa dijual setelah dibersihkan dan dijemur. Aku paling suka saat musim panen kelapa tiba. Saat itu pembeli datang lalu membawa kelapa kami sebanyak satu truk. Aku senang karena kami akan dapat beberapa stock kelapa untuk dikonsumsi.
Selain berkebun dia juga memelihara ikan. Aku masih ingat ikan gurami tua besar yang dia pelihara. Dulu dia membeli bibitnya saat aku masih kecil. Akhirnya ikan gurami besar itu kami masak. Sebenarnya aku sedih karena ikan itu dimasak, tapi rasanya enak. Aku jadi merasa bersalah. Dia bilang ikan gurami itu adalah satu-satunya yang bisa bertahan hidup cukup lama dibanding teman-temannya. Selain ikan, dia juga memelihara soang dan bayi hewan yang ditinggal ibunya di kebun.
Aku ingin menjadi seperti dia, melewati hari-hari tua dengan hasil berkebun. Punya rumah, lahan kebun yang cukup dan hidup sederhana. Dia adalah orang yang sangat visioner yang kukenal. Bahkan di usianya saat itu dia masih berpikir bagaimana hidup untuk beberapa tahun kedepan. Padahal dia seharusnya beristirahat.
Dia selalu bangun saat malam menuju pagi, aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Yang kuingat dia selalu menulis sesuatu disebuah note book kecil. Tidak ada yang bisa membaca tulisannya. Tulisan itu tertulis tegak bersambung, mirip tulisan dokter. Aku curiga dia menulis sepertiku saat ini. Aku juga melakukannya setiap malam menjelang pagi.
Aku selalu mengkhawatirkan kesehatannya karena dia selalu merokok. Ketika aku mencoba melarangnya, dia bilang bahwa dia sudah cukup lama hidup di lingkungan yang penuh dengan rokok. Sehingga dia tidak bisa lepas darinya bahkan sampai hari ini. Aku penasaran, apakah rasa rokok seenak itu?. Suatu hari kuingat dia pernah bertanya padaku. "Kira - kira apakah aku masih bisa melihatmu saat kamu tumbuh besar, lulus kuliah, menikah dan punya anak?" saat dia berkata seperti itu aku hanya menjawab dengan tertawa, "Kamu pasti bisa, Kamu harus bisa". Aku memang cukup naif.
Setiap mengingat hari-hari itu aku sedih. Aku yang sekarang sudah tidak bisa duduk mengobrol sambil minum kopi dan teh seperti dulu lagi. Dia juga sudah cukup tua, bahkan sudah sulit untuk berjalan. Aku tidak lagi melihat sosok tinggi dan tegap yang dulu menusuri jalan bersamaku. Yang kulihat adalah dia yang mulai menua. Dia yang bahkan bicarapun sudah tidak jelas.
Aku sudah terlalu jauh pergi. Dari gadis kecil yang bergantung padanya, kini aku harus melangkah sendiri. Hari terakhir ketika aku mengunjunginya, kulihat dia menangis. Itu pertama kalinya aku melihatnya menangis. Saat itu dua orang anaknya ada disana, mereka juga menangis. Kudengar dia menangis karena merasa terharu, akhirnya ada orang yang memaksa ingin membantunya disaat selama ini dia selalu berjuang sendirian. Dia memang selalu bisa mengurus apapun sendirian.
Aku kadang bersedih karena tahu sebuah kenyataan bahwa dia bisa saja meninggalkanku selamanya. Aku takut. Aku tidak bisa seperti dia. Aku bahkan merasa gagal, gagal dalam banyak hal. Itu cukup memalukan. Aku bisa menerima kegagalan itu. Karena kita diciptakan dengan jalan hidup yang berbeda, tidak salah juga jika aku gagal. Aku tetap berusaha. Aku mungkin gagal, tapi dia tidak pernah gagal mendidikku menjadi pribadi yang seperti ini.
Aku berterima kasih atas semua yang pernah dia ajarkan kepadaku. Aku bisa menerima diriku yang seperti ini. Aku tidak merasa lelah walaupun perjalanan ini cukup panjang. Aku belajar tentang kesederhanaan dan bersyukur. Aku juga menjadi lebih mandiri. Aku belajar banyak hal darinya.
Akan ku ulang lagi, terima kasih banyak.
Hari ini aku merindukannya. Kini aku sedang mengejar salah satu pencapaian yang ingin dia lihat.
"Kamu akan melihatnya, tidak, kamu harus melihatnya". Setidaknya ini adalah salah satu yang bisa aku tunjukkan padanya.
Kutulis ini untuk dia. Dia tidak akan membacanya untuk saat ini.
Suatu hari aku yakin dia akan membacanya.
Kamu tahu? Aku sekarang berada di kota yang selalu ada diceritanya. Kota dimana dia yang dulu selalu membawa hariku pergi dari kenyataan dengan banyak cerita nostalgia. Dan tepat di kota ini, setiap hari kuingin kembali ke waktu 14 tahun yang lalu. Saat aku masih bisa menggenggam tangannya se-erat itu.
Dari aku untuk bapak,
Bandung, 07 Maret 2019.
Dia yang aku sayangi...
Semua bermula dari sebuah kota. Aku ingat satu hari ketika dia mengajakku berjalan kaki menusuri gang kecil. Hari itu langit cerah. Biasanya dia menggandeng tanganku, sambil berjalan dia selalu bercerita. Dahulu begini... dahulu begitu.
Dia akan melakukan apapun untukku. Dia bilang aku harus rajin belajar. Dia selalu menasihatiku. Tidak seperti dia yang tidak peduli padaku, bahkan menasihatiku pun baru beberapa hari kemarin. Katanya, aku harus menjadi orang yang sukses dan berhasil. Waktu itu aku terlalu kecil untuk mencerna kata-katanya. Aku baru sadar bahwa dia orang yang sangat realistis.
Kami berjalan cukup jauh, sekitar beberapa kilometer. Dari menusuri gang kecil, lalu sampai di pinggir jalan besar. Di jalan besar kulihat rumah, kendaraan, pohon-pohon dan penjual ikan hias. Setiap aku melewatinya, aku selalu banyak bertanya. Setelah itu kami sampai di pasar. Disana ada toko yang menjual makanan ringan. Dia membeli sebuah kue brownies, bolu dan sebuah eskrim untukku. Kemudian kami kembali pulang, sesederhana itu. Aku bahagia.
Aku tidak pernah lupa bagaimana dia selalu mengajakku pergi ke kota itu setiap liburan sekolah. Kota yang selalu menjadi tempat yang ingin aku kunjungi. Setiap mengajakku, rasanya seperti dia tahu bahwa sekolah adalah sebuah neraka bagiku. Aku yang dikenalnya dulu adalah aku yang banyak bicara, senang bercerita, ceria dan sangat ekspresif. Setelah masuk sekolah aku berubah menjadi pribadi yang diam, secara mental itu sangat merusak bahkan sampai hari ini. Dia selalu bertanya
"Mengapa kamu diam?". Aku bahkan tidak ingat bagaimana aku menjawabnya. Dia sepertinya tahu bahwa aku tertekan. Dia tahu anaknya tidak cukup untuk bisa membawaku pergi jalan-jalan saat itu. Aku sendiri, memang butuh tempat untuk pergi. Untuk itulah aku selalu ikut dengannya, ke sebuah kota dimana aku dilahirkan.
Kami berdua selalu pergi naik bus. Dahulu belum ada jalan tol. Aku bahkan masih ingat kami berangkat jam 8 pagi. Sepanjang jalan aku memperhatikan pemandangan. Aku suka pergi kesana karena bus melewati jalur Puncak, Bogor. Sepanjang jalan itu banyak kebun teh dan pohon-pohon hijau. Lalu setelah beberapa jam perjalanan bus akan berhenti di sebuah rumah makan. Tempat itu memang sebuah tempat peristirahatan karena banyak bus lain yang berhenti disana. Aku masih ingat kami makan nasi dengan ayam goreng. Saat kami makan, biasanya aku ingin minuman bersoda. Dia pasti memarahi dan melarangku, padahal aku tidak pernah mabuk darat. Setelah makan dan kembali ke bus selalu ada penjual donat. Aku adalah anak yang banyak meminta, aku ingin donat. Dia menurutiku dan membeli satu kotak donat besar, isinya ada 12 buah. Nantinya donat itu akan kami makan jika sudah sampai di rumah.
Jika liburan sudah selesai dia akan mengantarku pulang. Sebelum akhirnya dia kembali ke rumahnya dan setelah itu kami hanya akan berkomunikasi lewat telepon. Biasanya jika aku sakit atau aku sendirian di rumah, aku selalu menelponnya. Aku kesepian karena orangtua kami bekerja. Akupun tidak pernah menuntut kehadiran mereka karena aku cukup tahu alasan mereka pergi dan meninggalkan aku dan adikku di rumah. Aku ingin bilang padanya bahwa anaknya sangat hebat, dia adalah malaikatku. Aku tidak heran mengapa dia bisa mendidiknya seperti itu. Terima kasih banyak.
Setelah masa - masa sekolah dasar yang mengerikan itu berakhir aku memutuskan untuk tinggal bersamanya. Kupikir aku akan dapat banyak hal jika aku selalu bersamanya. Itu benar. Dia mengajarkan aku banyak hal, banyak sekali. Sehingga dalam keadaan paling sulitpun, hari ini, aku tidak menyerah. Pada masa itu aku mungkin menyebalkan. Dia selalu marah jika aku bandel. Tapi kalau aku menjadi anak yang baik, dia akan membelikanku makanan yang enak.
Masa - masa tinggal bersamanya adalah pelajaran berharga bagiku. Kami tidak selalu hidup senang, makan juga seadanya, bahkan jika lauknya dipanaskan selama 4 hari berturut-turut. Setiap hari dia duduk di ruang tamu sambil meminum kopi dan merokok. Lalu jika aku pulang sekolah dia akan berkata "Ada kopi di dapur, coba seduh". Kemudian kami meminumnya bersama. Di usianya pada saat itu tidak banyak teman yang bisa diajak mengobrol. Aku tahu, semakin tua temanmu-pun akan pergi meninggalkanmu. Saat itu mungkin aku adalah temannya. Aku, kopi dan dia.
Kami membicarakan banyak hal. Aku ingat bagaimana dia menceritakan perjuangannya hidup dari nol sampai bisa hidup damai di hari tua. Dia bercerita bagaimana kerasnya berjualan di Stasiun waktu itu. Dia bercerita tentang hari-harinya yang sulit. Dia juga bilang bahwa pendidikan adalah sesuatu yang penting, untuk itulah dia tetap menempuh pendidikan walau tidak dengan usia yang muda lagi. Dia mementingkan pendidikan diatas segalanya, itulah yang dilakukannya pada anak-anaknya.
Dia berbicara padaku dengan bahasa seperti layaknya aku adalah temannya. Dia menceritakan masa lalunya, teman-temannya, pengalamannya pergi keluar kota, anak-anaknya atau betapa cerianya aku dulu. Ketika dia bercerita, kami tidak sadar waktu telah sore. Aku memang senang mendengarkan orang bercerita, rasanya seperti aku masuk kedalamnya. Aku bahkan masih ingat dia bercerita tentang pengalaman hidupnya saat dia hanya makan kue marie setiap hari karena tidak punya uang.
Jika dia bosan, dia akan pergi keluar bersama mobil tuanya. Sebuah mobil sedan mitsubishi keluaran tahun 1996 berwarna biru. Sepulangnya dia kembali membawa 5 potong rendang dan 1 kg bolu kering. Dia bilang bolu kering sangat enak jika dimakan bersama dengan teh dan kopi. Saat itu pula obrolan kita akan kembali terulang.
Dia senang berkebun. Banyak pohon yang sudah ditanam dan berhasil tumbuh dengan baik selama berpuluh-puluh tahun. Sayang aku tidak bisa menikmati hasilnya, karena sebagian besar adalah buah-buahan. Aku heran bagaimana dia bisa menanam dan merawat pohon dengan baik. Dia selalu mengajakku berkebun. Terkadang aku malas karena disana banyak nyamuk. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan dia pergi sendirian. Dia bilang ingin menanam banyak pohon, nantinya pohon itu akan tumbuh besar dalam waktu 10 tahun. Lalu jika hasilnya sudah ada itu akan menjadi investasinya untuk masa mendatang. Pada hari itu aku terharu, tapi kusembunyikan wajahku. Aku hanya diam, lalu lanjut memberikan pupuk untuk bibit pohon.
Hari- hari di kebun kulakukan dengan menyiram bibit, memberi pupuk, membersihkan rumput, menyapu daun kering lalu membakar semua sampah daunnya. Setelah itu kami kembali ke rumah, begitu setiap hari. Jika musim panen tiba biasanya aku membantu memetik hasilnya. Seperti saat panen cengkeh, aku memungut beberapa cengkeh yang jatuh ke tanah. Nantinya cengkeh bisa dijual setelah dibersihkan dan dijemur. Aku paling suka saat musim panen kelapa tiba. Saat itu pembeli datang lalu membawa kelapa kami sebanyak satu truk. Aku senang karena kami akan dapat beberapa stock kelapa untuk dikonsumsi.
Selain berkebun dia juga memelihara ikan. Aku masih ingat ikan gurami tua besar yang dia pelihara. Dulu dia membeli bibitnya saat aku masih kecil. Akhirnya ikan gurami besar itu kami masak. Sebenarnya aku sedih karena ikan itu dimasak, tapi rasanya enak. Aku jadi merasa bersalah. Dia bilang ikan gurami itu adalah satu-satunya yang bisa bertahan hidup cukup lama dibanding teman-temannya. Selain ikan, dia juga memelihara soang dan bayi hewan yang ditinggal ibunya di kebun.
Aku ingin menjadi seperti dia, melewati hari-hari tua dengan hasil berkebun. Punya rumah, lahan kebun yang cukup dan hidup sederhana. Dia adalah orang yang sangat visioner yang kukenal. Bahkan di usianya saat itu dia masih berpikir bagaimana hidup untuk beberapa tahun kedepan. Padahal dia seharusnya beristirahat.
Dia selalu bangun saat malam menuju pagi, aku tidak tahu apa yang dia lakukan. Yang kuingat dia selalu menulis sesuatu disebuah note book kecil. Tidak ada yang bisa membaca tulisannya. Tulisan itu tertulis tegak bersambung, mirip tulisan dokter. Aku curiga dia menulis sepertiku saat ini. Aku juga melakukannya setiap malam menjelang pagi.
Aku selalu mengkhawatirkan kesehatannya karena dia selalu merokok. Ketika aku mencoba melarangnya, dia bilang bahwa dia sudah cukup lama hidup di lingkungan yang penuh dengan rokok. Sehingga dia tidak bisa lepas darinya bahkan sampai hari ini. Aku penasaran, apakah rasa rokok seenak itu?. Suatu hari kuingat dia pernah bertanya padaku. "Kira - kira apakah aku masih bisa melihatmu saat kamu tumbuh besar, lulus kuliah, menikah dan punya anak?" saat dia berkata seperti itu aku hanya menjawab dengan tertawa, "Kamu pasti bisa, Kamu harus bisa". Aku memang cukup naif.
Setiap mengingat hari-hari itu aku sedih. Aku yang sekarang sudah tidak bisa duduk mengobrol sambil minum kopi dan teh seperti dulu lagi. Dia juga sudah cukup tua, bahkan sudah sulit untuk berjalan. Aku tidak lagi melihat sosok tinggi dan tegap yang dulu menusuri jalan bersamaku. Yang kulihat adalah dia yang mulai menua. Dia yang bahkan bicarapun sudah tidak jelas.
Aku sudah terlalu jauh pergi. Dari gadis kecil yang bergantung padanya, kini aku harus melangkah sendiri. Hari terakhir ketika aku mengunjunginya, kulihat dia menangis. Itu pertama kalinya aku melihatnya menangis. Saat itu dua orang anaknya ada disana, mereka juga menangis. Kudengar dia menangis karena merasa terharu, akhirnya ada orang yang memaksa ingin membantunya disaat selama ini dia selalu berjuang sendirian. Dia memang selalu bisa mengurus apapun sendirian.
Aku kadang bersedih karena tahu sebuah kenyataan bahwa dia bisa saja meninggalkanku selamanya. Aku takut. Aku tidak bisa seperti dia. Aku bahkan merasa gagal, gagal dalam banyak hal. Itu cukup memalukan. Aku bisa menerima kegagalan itu. Karena kita diciptakan dengan jalan hidup yang berbeda, tidak salah juga jika aku gagal. Aku tetap berusaha. Aku mungkin gagal, tapi dia tidak pernah gagal mendidikku menjadi pribadi yang seperti ini.
Aku berterima kasih atas semua yang pernah dia ajarkan kepadaku. Aku bisa menerima diriku yang seperti ini. Aku tidak merasa lelah walaupun perjalanan ini cukup panjang. Aku belajar tentang kesederhanaan dan bersyukur. Aku juga menjadi lebih mandiri. Aku belajar banyak hal darinya.
Akan ku ulang lagi, terima kasih banyak.
Hari ini aku merindukannya. Kini aku sedang mengejar salah satu pencapaian yang ingin dia lihat.
"Kamu akan melihatnya, tidak, kamu harus melihatnya". Setidaknya ini adalah salah satu yang bisa aku tunjukkan padanya.
Kutulis ini untuk dia. Dia tidak akan membacanya untuk saat ini.
Suatu hari aku yakin dia akan membacanya.
Kamu tahu? Aku sekarang berada di kota yang selalu ada diceritanya. Kota dimana dia yang dulu selalu membawa hariku pergi dari kenyataan dengan banyak cerita nostalgia. Dan tepat di kota ini, setiap hari kuingin kembali ke waktu 14 tahun yang lalu. Saat aku masih bisa menggenggam tangannya se-erat itu.
Dari aku untuk bapak,
Bandung, 07 Maret 2019.
Comments
Post a Comment