Dibawah atap gedung tua



Hari itu hujan turun dengan derasnya. Kukira aku membawa payungku, sepertinya aku lupa bahwa payungnya sudah hilang sejak beberapa bulan yang lalu. Aku berteduh di bawah atap sebuah gedung tua. Kulihat di ujung sana, sebuah perempatan jalan dengan lampu merah di sisi kanan menunjukkan warna hijau sedangkan di sisi lainnya berwarna merah. Sebagian mobil berlalu, sebagian lainnya terdiam menunggu giliran mereka berjalan. Aku sendiri terhenti tanpa arahan apapun. Hujan menghentikan langkahku walaupun aku bisa menembusnya dengan resiko bahwa bajuku akan basah.

Orang berlalu - lalang berjalan bersama payung mereka, sedangkan aku masih terdiam mengambil keputusan yang tepat. Jika aku menerobos hujan, bukan hanya pakaianku yang basah, kemungkinan besar aku akan sakit juga. Tapi aku juga tidak suka menunggu terdiam membunuh waktu seperti ini. Mengambil keputusan memang tidak mudah, salah-salah mungkin aku akan menyesal.

Di bawah atap gedung tua itu aku berteduh bersama seorang pemuda. Kulihat dia membawa payung berwarna hitam yang sejak tadi hanya dia pegang saja. Padahal dia bisa saja pergi menerobos derasnya hujan tanpa perlu kehujanan. Seandainya aku jadi dia, mungkin aku sudah pergi tanpa perlu berfikir panjang seperti saat ini.

Hujan ini akan terus turun dalam beberapa jam kedepan, biasanya bisa sampai 3 jam. Dan sekarang ini waktu menunjukkan pukul 5 sore. Aku harus cepat pulang karena jika malam hari, penglihatanku sangat buruk, aku juga lupa membawa kacamataku. Aku selalu berpergian tanpa persiapan matang, karena kukira aku akan selalu baik-baik saja. Nyatanya hari ini aku sial sekali.

Sambil menunggu hujan berhenti aku memandangi orang yang lewat satu persatu. Beberapa orang melintas dihadapanku. Ada yang sendirian sambil mendengar lagu, ada yang berpasangan bersama dalam satu payung, ada yang sedang tertawa sambil bercanda dengan temannya. Mereka memakai payung dengan warna yang berbeda, Hitam, Pink, Merah, Hijau, Biru, Kuning, Orange, Ungu tua dan lainnya. Ukuran payungnya juga berbeda, ada yang sangat lebar untuk satu orang, ada juga yang terlalu kecil untuk dua orang.

Diantara mereka semua tidak ada orang yang cukup bodoh untuk menerobos hujan sederas ini. Mungkin saat itu, hanya aku yang berfikir demikian yang akhirnya hanya bisa kusimpan saja. Sebaiknya memang aku menunggu hujan ini berhenti. Rintik hujan yang deras perlahan membasahi sepatuku, ah aku harus mencucinya lagi. Walaupun tidak ada jaminan sepatuku akan bersih.

Aku benci hujan, dia membuatku tidak bisa pergi dengan bebas. Aku benci ditahan seperti ini, Aku juga benci membunuh waktu seperti ini, Aku juga benci menyadari bahwa aku sendirian dan kesepian dalam waktu 3 jam kedepan. Aku iri dengan orang yang membawa payung mereka. Setidaknya mereka tidak akan merasakan bosannya menunggu seperti ini bukan? Kuharap waktu cepat berlalu agar aku bisa pergi dari sini. Kulihat perlahan, orang yang berlalu-lalang juga semakin sedikit, jalanan mulai sepi dan hanya ada beberapa mobil saja yang melintas.

Menoleh kekanan, menoleh kekiri, menunduk, lalu menengadah keatas sembari meregangkan jariku dan memainkan kakiku, itulah yang kulakukan. Kulihat jam dan sekarang sudah menunjukkan pukul 6, satu jam sudah berlalu begitu saja sedangkan hujan masih turun dengan derasnya. Selama satu jam yang aku lakukan hanya bisa mengeluh, mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Kulihat pemuda di sebelahku dia hanya terdiam bersama payungnya, dia terlihat memandangi hujan seperti menikmatinya. "Dasar bodoh" pikirku, padahal dia bisa saja pergi dari sini satu jam yang lalu kalau dia mau. Tapi mengapa dia masih disini?

Aku bertanya dalam hati. Sesekali kulihat dia menunduk sampai akhirnya kami saling melihat satu sama lain lalu dia tersenyum. Aku kaget, kukira dia akan menatapku dengan sinis. Lalu kuberanikan diri bertanya "Mengapa tidak kau gunakan payungmu? Padahal kamu tidak perlu berteduh". Dia terdiam sejenak, menghela napas lalu menjawab "Aku suka hujan". Aku terkejut dengan jawabannya, kami ternyata bertolak belakang. "Kalau kamu bosan menunggu, kamu boleh bawa payungku, Aku akan menunggu disini sampai hujannya selesai" katanya sambil menawarkan payung hitamnya padaku. Seketika aku ragu.

Aku membenci hujan, aku mungkin bisa saja pergi menerobos hujan jika aku mau, aku juga bisa menerima tawaran pemuda disebelahku dan pulang ke rumah jika aku mau. Tapi aku sendiri tidak bisa seperti itu. Bagaimana jika hujan tidak berhenti dalam waktu 3 jam? Bagaimana pemuda disebelahku ini akan pulang jika payungnya aku bawa? Siapa aku yang berhak membawa payung seseorang yang tidak kukenal seenaknya? Jika aku seperti itu aku akan terlihat seperti orang yang egois.

"Tidak perlu, aku sepertinya akan menunggu disini saja sampai hujannya reda" balasku. Sejujurnya hati kecilku juga tidak nyaman jika membiarkan dia sendirian berteduh disini, karena aku tahu sendirian itu tidak enak. Walaupun aku yakin dia pasti baik-baik saja tanpa aku. "Kalau begitu, terimakasih " katanya. Setelah itu kami tidak berbicara apa-apa, hanya ada suara rintik hujan yang memecah kesunyian. Tapi entah mengapa sejak bisa berbicara dengannya, walau sedikit tapi aku merasa tidak kesepian.

Setelah hampir 2 jam berteduh aku merasa aku kehilangan banyak hal, seiring dengan banyaknya menit yang terbuang sia-sia karena aku menunggu. Aku kehilangan banyak hal yang seharusnya bisa aku lakukan jika saja aku tidak terjebak disini. Tapi terus menerus mengeluh juga melelahkan, sebaiknya aku lebih banyak bersyukur. Saat itu juga langit sore sudah mulai gelap, satu persatu lampu kota mulai menyala sedangkan hujan masih belum reda dan aku mulai kelelahan berdiri.

"Sebentar lagi dia akan selesai" Pemuda itu berkata padaku sambil menatap langit seolah dia memang tahu hujan akan berhenti. "Syukurlah kalau begitu" kataku yang dengan bodohnya percaya apa yang dia katakan. "Setelah ini, aku akan mengantarmu pulang" dia berkata seperti itu dan aku terkejut lalu bertanya "Kenapa?? tidak perlu sampai seperti itu, aku bisa pulang sendiri". Aku berusaha menolaknya dengan halus, sedangkan dia menatapku dengan serius dan berkata "Ini adalah ucapan terima kasihku karena kamu sudah menemaniku disini, kuharap kamu mau menerimanya". Kupikir tidak ada salahnya jika aku menerimanya mengingat penglihatanku yang buruk saat malam hari. Lalu aku putuskan sambil menghela nafas dan mengangguk. Kulihat dia tersenyum.

15 menit setelah itu ajaibnya hujan benar-benar berhenti, aku merasa bersalah karena aku meremehkan pemuda ini. Kulihat pemuda ini menaruh payungnya di bawah tanah begitu saja dan menawarkan tangannya padaku. "Mari ku antar pulang" katanya. Sesaat aku tertegun lalu bertanya "Mengapa kamu tidak membawa payungmu?". Dia melihat payungnya, lalu menjawab " Kita tidak membutuhkannya lagi, biar saja payung itu disana". Hari itu sambil berjalan menusuri arah pulang bersama dengan pemuda yang baru kukenal aku sadar bahwa semua butuh waktu dan kesabaran. Dan aku bersyukur karena kurasa aku sudah mengambil keputusan yang tepat.

Kau tahu, saat diperjalanan pulang aku bertanya nama pemuda itu. Lalu dia menjawab.
"Namaku adalah tristesse ..."

Comments

Post a Comment

Popular Posts